Hi, there! How is it going, mate?
This week went out with full of excitement. Every problem I faced during latest two weeks, now, finds its escape. I’m so grateful to watch myself still stand so strong, although a huksy storm has just attacked my life.
Well, this is what we call ‘life’: you may get a bunch luck that deliver you to the top of life now, but then you may get a great disaster that put you under pain and sorrow. Life is never able to predict: it’s changing everytime, anywhere.
Yet, one thing that will never change for good is: God knows how to take care of you.
Before you are born, He knows what full name you will have, what shirts you will wear at seven, and what time you will die. He knows everything about you, even that you have no idea about.
When you meet problem, God is guiding you to a better life. If you believe in Him, you’ll find a never sad ending.
WHEN PROBLEM CAME TOO MUCH AND TOO EARLY…
Gue masih inget betapa sekaratnya semangat ini saat gue belum juga menemukan lokasi penelitian yang sesuai dengan topik skripsi, sementara yang lain (walau jumlahnya sangat sedikit) sudah lama memulai penelitiannya dan bahkan ada yang dengan entengnya ngomong begini depan gue, “Gue lagi nulis bab kesimpulan sekarang nih,”
Buat lo semua yang sedang atau pernah ngerasain buat skripsi, omongan orang macam begitu pasti terbawa mimpi. Mau tak mau, skripsi dan segala hal yang berkaitan dengan kitab suci mahasiswa tingkat akhir itu masuk ke dalam mimpi.
Di tengah mimpi basah lo, Naya Rivera dan Mariana Renata tiba-tiba berubah rupa menjadi wajah imut ibu dosen pembimbing skripsi lo. Doski datang dengan ular piton bergelayut di lehernya dan 3 herder jantan di tangan kanan serta trisula di tangan kiri.
Muka merengut karena 3 hal: 1) kekurangan kolagen akibat penuaan dini, 2) sirkulasi menstruasi dan buang air besar tidak lancar 3) skripsi anak bimbingannya ibarat pepatah: “Mati segan, hidup tak mau”
Mau apa coba, saat di dalam mimpi, si doski kemudian menusukkan trisulanya ke lubang hidung lo? Waakkssss!!!!
Gue depresi banget. Ngejalanin skripsi nggak segampang memainkan harpa (bwahahaha, berasa bisa). Tawaran nomat, karaoke, dan nge-golf bareng kolega (azek!), terpaksa gue tolak mentah-mentah demi menyambung hidup skripsi gue yang diambang kematian.
Belum kelar masalah skripsi, my life’s been added with new trial: 6 projects await to complete!
Gue sampai benar-benar merelakan waktu luang dan tidur agar semua kerjaan bisa kelar, bahkan jatah tidur malam sampai cuma tinggal 30 menit. Terlebih lagi, gue harus bantu nyokap gue untuk menyusun skripsinya di UNJ. Perjalanan rumah (bekasi) – UI (depok) – UNJ (rawamangun) menjadi rutinitas setiap hari. Belum lagi, pertemuan/rapat A, B, C dan lain-lainnya yang mengambil tempat di lokasi yang beragam dan nggak nanggung-nanggung jauhnya dari tiga tempat yang hampir gue kunjungi terus itu.
Gue berusaha untuk menyelesaikan tugas dan mengemban tanggung jawab dengan sebaik-baiknya, bahkan hingga mengorbankan kesenangan pribadi, tapi nyatanya, itu tidak sepenuhnya memberikan kepastian buat gue untuk meraih apa yang gue harapkan. Justru, sebaliknya, gue terperosok ke lubang ‘kegagalan’: nyokap gue mendadak di ‘Drop Out’ dari kampusnya karena masa studi telah berakhir, gue gagal meraih kesempatan emas yang sudah gue tunggu-tunggu, dan akibat fisik yang terus dipaksa bekerja, gue nge-drop satu harian.
Masalah numpuk bikin nge-drop banget. Gue juga manusia biasa yang bisa merasakan keputusasaan, saat gue pikir gue sudah berusaha sangat keras, namun yang gue terima justru kemunduran.
Siapa selanjutnya yang enak untuk disalahkan atas semua ini? Salahin nyokap? Bokap? Atau salah teman-temen gue? (sindrom labil: habis nonton AADC)
Jadi, siapa yang harus disalahkan atas kegagalan ini? Jawabannya sederhana: …Tuhan.
Lho, kok komplen? Iya dong!
Tuhan kan yang mengatur hidup manusia, jadi kalau manusia sudah berusaha keras dan ternyata itu gagal, apa itu salah manusia juga? Jelas bukan! Tuhan patut jadi terdakwa atas hal ini dan patut dikenakan sanksi atas pelanggaran karena lalai dalam memperhatikan umatNya. Buktinya, mereka yang kurang berusaha mengapa justru bisa memperoleh yang lebih baik dari kita?
Coba? Yang merasakan hal ini pasti bukan cuma gue kan? Gue tahu lo juga! Lo pasti merasakan hal yang gue rasain: Kenapa harus gue yang ngalamin ini?
WHY ME?
Masalah gue mungkin ga sebesar yang sebagian dari kalian rasain dulu maupun saat ini. Saat ayahmu ditangkap polisi dengan dugaan tindakan yang melanggar hukum, kamu pasti berpikir: TUHAN, mengapa ini terjadi di keluarga saya, mengapa bukan yang lain?
Saat orang yang kamu sayangi meninggal, kamu juga pasti berpikir: TUHAN, dosa apa yang kuperbuat? Mengapa harus orang yang kusayang yang kau ambil? Mengapa bukan yang lain?
atau…
Saat kamu merasa berwajah tidak lebih cantik/tampan dari yang lain, saat kamu menderita penyakit kronis, saat kamu harus menghabiskan hidup dengan duduk di atas kursi roda… Kamu JELAS akan berpikir: TUHAN, MENGAPA HARUS AKU YANG MENANGGUNG INI?
Mengapa harus aku?
LIFE IS LIKE A CAKE:
FROM UNCOOKED AND BAD-TASTED MATTERS TO BE DELICIOUS CAKE
- story begins..
Note: I don’t own all pictures above. Get it for free from Dian who sent those by email. |