Feeds:
Posts
Comments

Archive for July, 2011

 Jakarta, 28th of July 2011

“The Future Ain’t Free;

What You Do at Past and Present is the Payment.

So, never give up to do whatever it takes,

for your own bright future.”

————————————————David Immanuel Sihombing
 

Watch out this very moving video and learn how every effort you do will never lead to futility.

 

Read Full Post »

What else Japan has, besides Kimono and Ninja?

Check out the answers below!

NB: don’t blame me if you can’t stop laughing out loud!  If you agree, keep pressing down.

Pengantar Redaksi

“RT” merupakan post khusus yang saya dedikasikan kepada blog entry yang inspiratif dan bermanfaat. Singkatan ini diadopsi dari istilah “RT” yang lazim digunakan di Twitter, mengingat disini saya memang me-RT (re-post) tulisan orang lain di blog ini. Dengan meneruskan entry tersebut di blog ini tanpa/sedikit mengubah isi blog dan menunjukkan orisinalitas serta identitas pengarang asli, saya berharap entry yang saya pilih ini mampu memberikan inspirasi atau menjadi hiburan bagi siapapun yang membaca blog saya.

 

Foto di bawah bukan merupakan buah tangan saya, melainkan karya orang lain yang saya teruskan dari link berikut: 

http://www.weirdexistence.com/some-really-weird-photos-from-japan/?z=3&utm_source=avalanchers.com&utm_medium=referral&utm_campaign=avalanchers 

GAYA MAKAN DI JEPANG

warga Jepang selalu punya cara tersendiri bagaimana menikmati makanan apapun jenisnya! Saat makan mie, misalnya. Di negara manapun, mie biasanya disajikan hangat. Di Jepang juga lho. Terus apa yang yang berbeda?

Ini dia perbedaannya. Sebelum diseruput,biasanya kita akan tiup mie tersebut terlebih dahulu agar tidak terlalu panas saat dicicipi lidah. Tapi cara seperti ini ga berlaku bagi orang Jepang. Mereka punya teknik yang lebih canggih agar mie bisa dinikmati tanpa harus mengeluarkan energi untuk meniupnya.

Penasaran? Ini dia caranya…

some really weird photos from japan10

Hm… bagaimana dengan Pizza?

Caranya sama kok dengan kita, pakai tangan untuk memasukkan pizza ke dalam mulut. Eiitss… tapi cara mengambil saus/mayonnaise-nya yang berbeda dengan kita. Nah, ini dia cara unik mereka…

some really weird photos from japan01

GAYA BERTOILET DI JEPANG

Bosen melihat dekorasi toilet umum di Jakarta yang tidak menarik dan cenderung monoton? Kalau kamu berpergian ke Jepang, sempatkan diri untuk mengunjungi toilet ini dan rasakan SENSASI LUAR BIASA di dalamnya. Jangan sampai kecanduan ya :p

some really weird photos from japan05

GAYA TIDUR DI JEPANG

Bukan hanya di Indonesia, fenomena “Bang Toyib ga pulang-pulang” ternyata juga melanda negeri sakura. Tapi bedanya dengan Indonesia, orang Jepang selalu kreatif dan inovatif memanfaatkan momen yang ada menjadi peluang bisnis. Sebuah perusahaan di Jepang mengeluarkan produk bantal dengan tampilan khusus yang bisa menggantikan posisi suami saat tidur di malam hari.

Tiga kali lebaran, tiga kali puasa, Bang Toyib nggak pulang-pulang? Bagi cewek Jepang, ini bukan lagi masalah!

some really weird photos from japan07

Apa sih sebenarnya penyebab suami-suami di Jepang ogah pulang ke rumah?

Oalah…, ternyata sang suami nggak perlu capek-capek pulang ke rumah untuk bisa tidur di pangkuan sang istri. Kini, kenikmatan yang sama juga bisa didapatkan di kantor! Hahahaha….

some really weird photos from japan13

GAYA PERMAINAN DI JEPANG

Cewek-cewek cantik Jepang mencoba permainan ini dan terlihat berbeda jauh dari wajah aslinya!

some really weird photos from japan03

Jika berkunjung ke pusat perbelanjaan, biasanya kita temukan sebuah game machine dimana kamu bisa memperoleh boneka, jam atau bingkisan cokelat dengan mengarahkan sebuah capit yang dapat digerakan kiri-kanan, maju-mundur dan atas-bawah untuk mencengkram barang yang kamu sukai.

Di Jepang, permainan ini tidak menggunakan boneka, bingkisan cokelat dan sejenisnya lagi, tapi…. barang hidup dan bernyawa!

some really weird photos from japan14

Ini permainan atau bukan ya? :p some really weird photos from japan09

 

GAYA BERPERGIAN DI JEPANG

Berpergian di Jepang berbeda dengan di Indonesia. Saat berjalan-jalan disana, kamu bakal menemukan banyak hal unik di sepanjang perjalanan kamu. You’re gonna see this…

…when you wait public bus

some really weird photos from japan12

some really weird photos from japan02


… when you take a train

some really weird photos from japan08

… when you go by public transportation, make sure your seat belt fastened to avoid any physical effects when accident happens, and your helmet used properly to avoid you drooling on someone’s shoulder when you fall asleep.

some really weird photos from japan15

the last picture of transportation system in Japan. Don’t be surprised if you catch a sky train, then you suddenly feel like inside a girl’s pants.

some really weird photos from japan18

That’s all what I’ve got. I don’t display all pictures, you can see the rest in the source (just click the link at the top of this post). This entry is just intended for fun, so don’t take it too serious. I laughed out loud at the first time I found these images, I hope you do.

So, thank for reading and… laughing out loud!

(@davidsihombing)


Read Full Post »

What’s up, fellas? It’s been over a month I don’t make any updates in here, I know. I highly appreciate those who are waiting next update from me. This month just can’t be more thrilling!! This time lag will be all PAID OFF!

I really have a great time for this entire month! All I can say is… July 2011 is my favorite time for this year! I know we haven’t seen December yet, but all things happened in July are just  beyond my expectation and really really bonzer!

At the early of this month, I, officially, signed an agreement with Ministry of National Education for a prize worth around 1,000 USD or 10 million Rupiah. This was such a very surprising news. I didn’t even notice that they considered me to be one of the 5 recipients for “Grant for Outstanding Youths”. I came to the office and met Ruri, the 3rd world champion of International Chess Competition which took place in Greece, and another one was a very close friend of mine who also played at the same team when I and her took part in L’Oreal Brandstorm Competition till the national final this year and we both became the Indonesian recipients for “Denso Youth for Earth Action in Viet Nam and Japan 2010”, Dyah Ayunico Ramadhani.

Hence, my heartfelt gratitude dedicated for Ministry of National Education, particularly Bapak Abe Susanto dan Bapak Sunari on the behalf of “Beasiswa Unggulan” for treating me very kind in all possible ways. What becomes matter is not the money, but the support that you send to me. I pledge to myself and before others that I will never stop actively making and spreading positive changes in this mother land, Indonesia.

Anyway, as been promised before from my twitter account, I’d let you know the amazing 10 days experience during my journey to Taipei and Hongkong! I really have no idea actually where to start, because too many fascinating things I really want to tell!

But, first of all, let me say this to you… IT WAS FREAKIN A BLAST, dude!

This July is a way more awesome than anything happened in past one year! (well, successfully passing thesis defense is an exceptional :p)

So, without further ado, feel free to read the best things I experienced in Taipei and Hongkong! Let the stories begin…

Saturday, 9th of July 2011

“Sudah cek semua barang? Jangan ada yang sampai tertinggal lagi.” bokap gue memberikan peringatan, mengingatkan kejadian fatal yang pernah gue alami saat keberangkatan ke Jerman, September silam.

Dengan bodohnya, gue meninggalkan laptop di dalam mobil sebelum gue berpindah menggunakan taksi di perempatan tol Bekasi Barat, padahal gue sudah menempuh jarak lumayan jauh dari sana.

Setir pun diputar, arah berbalik dan gue kembali ke titik semula, saat berpamitan dengan bokap dan menyusup masuk ke dalam taksi dengan terburu-buru.

Gue jadi rugi belasan menit demi mengambil balik laptop gue yang tertinggal di dalam mobil dan imbasnya, gue datang tepat di saat pesawat sudah bersiap untuk lepas landas.

Saat bergegas menuju lokasi tempat duduk di dalam pesawat, puluhan pasang mata mengawali langkah kaki gue dengan amat sinis. Merriam Belina dan Leila Sagita bisa belajar banyak dari penumpang Qatar Airways kala itu bagaimana memperlihatkan gurat emosi di balik bola mata.

Gue cuma cengar-cengir nunjukkin deretan gigi yang belum rata. Sebagian terlihat “Yaudahlah ya, toh cuma beberapa menit”, tapi sebagian lagi menunjukkan eskpresi muka seakan ingin bilang “Lo… END!”

Pastinya, gue bisa merasakan kekecewaan mereka yang begitu mendalam. At least, pengorbanan nunggu delay terbayar dengan kehadiran Julia Perez atau Dewi Perssik kali ya untuk mengobati hati yang panas. Namanya juga artis, mungkin butuh waktu untuk bisa kabur dari kerumunan wartawan dan masuk ke dalam pesawat. Atau paling enggak, yah Gayus atau Nazarrudin lah, jadi mereka bisa numpang beken di TV untuk memberikan komentar dan kesan-pesan-harapan saat mengetahui penumpang berpakaian ala Lady Gaga di kursi XXY itu ternyata Gayus atau Nazarrudin.

Ternyata, penumpang penyebab delay itu bukan artis dan juga bukan tokoh politik, melainkan seonggok homo sapiens yang tak punya daya tarik sedikitpun untuk bisa mengundang kamera TV datang untuk merekam dan mempublikasikan hasilnya di tayangan saat primetime,

Bukan juga penumpang kelas bisnis, melainkan penumpang kelas ekonomi yang mendapatkan bangkunya akibat subsidi dari instansi tempat ia bernaung,

Dan datang dengan sendal jepit berbeda warna yang cocok digunakan untuk menembus lahan becek dengan kedua tangan menenteng ayam hidup dan sayur mayur segar dari pasar…

Yup, tak lain dan tak bukan, orang yang dimaksud adalah…. gue.

Gue nggak akan pernah ngebiarin ini terjadi lagi! Gak akan pernaaahh!! *efek habis nonton sinetron ‘Go Go Girls – 7icons’*

So, gue benar-benar berhati-hati untuk memastikan setiap barang yang wajib gue bawa selama perjalanan ke negeri Tao Ming Tse dan Sanchai. Paspor, tiket penerbangan, uang, laptop dan surat-surat penting menjadi highlight pengecekan kali ini. Jangan sampai sudah di bandara, tapi kelupaan bawa tiket penerbangan, apalagi paspor. Please make sure everything has been well-prepared ONCE AGAIN before you reach airport!

Ini menjadi first lesson for you guys. Jangan sampai kalian jadi kalang kabut dan akhirnya terpaksa merelakan penerbangan gara-gara menyepelekan hal kecil ini. Kalau perlu persiapkan dari dua malam sebelum keberangkatan, cek semalam setelahnya dan terakhir sebelum berangkat.

I really did, well not for the last two nights.

Kedua, biasanya penyakit orang Jakarta (I don’t generalize this), menganggap macet sebagai bagian dari siklus kehidupan yang dimaklumi jutaan umat manusia. Ibaratnya, bagi kebanyakan orang Jakarta, macet sudah menjadi bagian dari force majure, bersamaan dengan gempa bumi dan tanah longsor.

Nah, kalian berhadapan dengan kepentingan orang banyak disini, jadi jangan sampai kalian datang telat dan membuat orang di dalam pesawat harus menunggu kamu. Masih mending kamu ditunggu, kalau ditinggal gimana?

That’s why, kali ini, gue spare waktu perjalanan menuju bandara tiga jam sebelum check-in dibuka. Bener aja, di tengah perjalanan tiba-tiba kendaraan menumpuk di dalam tol menuju pintu keluar Grogol. Setengah ruas jalan ditutup untuk perbaikan, alhasil, kendaraan padat merayap hingga sejam lamanya.

Saya belajar banyak dari kejadian ini. Biasanya, saya langsung panik kalau terjebak di tengah kemacetan tak berujung seperti ini, namun kali ini, saya bisa duduk dengan santai tanpa harus bercucuran keringat dingin. Saya masih punya sisa waktu tiga jam setara dengan waktu tempuh perjalanan dari Bogor ke Bandara CGK.

Saya langsung kontak ketiga rekan seperjalanan saya; Tama, Jihad dan William. Kedua nama yang sebutkan pertama adalah teman sekampus saya. Mereka berdua dari jurusan Manajemen, FE UI, sedangkan yang terakhir dari Teknik Mesin ITB. Untungnya, sms saya disambut dengan kabar positif, mereka sudah di dalam perjalanan menuju bandara.

Saya jadi teringat kisah mendebarkan dan penuh tantangan yang saya alami bersama ketiga rekan saya waktu mengupayakan keberangkatan ini. Kami benar-benar hampir saja membatalkan kepergian ini. Kita memang terancam gagal berangkat karena masalah dana.

To be honest, kita tidak perlu dana besar untuk bisa mewujudkan keberangkatan ini. Panitia penyelenggara akan menanggung segala kebutuhan selama disana, dari akomodasi (hotel dan konsumsi) serta transportasi lokal. Mereka pun memberikan subsidi penerbangan buat seluruh peserta. Namun, dua rekan saya bermasalah dengan flight subsidy, sehingga mereka butuh mencari extra fund untuk mendukung keberangkatan ini.

Sedari awal, kami pun sepakat untuk membentuk tim. Jadi, segala kepentingan terkait pendelegasian menjadi tanggungan bersama, bukan individu lagi. Disini, saya dipercayakan rekan-rekan untuk menjadi Kepala Delegasi.

Awalnya, perjuangan berbuah hasil yang manis. Kami dikontak oleh salah satu Bank negeri terkemuka, perusahaan swasta terbesar dan dua penerbangan berskala internasional. Ini belum termasuk dukungan dari alumni dan uang saku dari UI lho.

Gue dan yang lain pun tidak ambil pusing tentang masalah dana lagi. Sampai akhirnya ga kerasa sudah H-7 hari keberangkatan dan perusahaan-perusahaan tersebut mendadak hilang kabar dan beberapa menangguhkan penawaran kerjasamanya.

Gue kontak satu per satu dan selalu berhenti di respon yang sama: “Belum ada respon lagi dari atasan, Mas.”

Gila, gue makin stress aja karena harus segera apply visa, tetapi tak sepeser pun uang sudah diterima di tangan. Bahkan lebih parahnya lagi, tiket penerbangan pun belum juga dikonfirmasi, padahal sudah H-6 dan harga cenderung naik seiring dengan berjalannya waktu.

Kita semua langsung kalang kabut. Follow-up semakin intens dilakukan. Telinga sampai panas untuk menanyakan kepastian sponsorship via telepon. Calon sponsor utama hilang ditelan bumi.Waktu yang tersisa tinggal 4 hari lagi.

Kami pun memutuskan untuk menanggung biaya tiket penerbangan dan visa terlebih dahulu sebab penggantian biaya penerbangan dari panitia baru diberikan saat di lokasi acara dan uang saku dari kampus akan diserahkan setelah acara berlangsung.

Naasnya, di saat gue semestinya apply visa (sebab ini hari terakhir yang memungkinkan gue memiliki visa sebelum waktu keberangkatan), gue dihadangkan dengan persoalan skripsi. Gue harus bertemu dengan kedua dosen pembimbing dan kedua dosen penguji gue untuk memohon tanda tangan persetujuan dari keempatnya agar bisa dinyatakan lulus sidang secara sah.

Rasanya hopeless banget waktu harus milih: ketemu dosen untuk kelulusan tahun ini atau urus visa Taiwan. Salah satu harus dikorbankan, karena keduanya berada di deadline yang bertepatan.

Pendelegasian ke Taiwan ini tentu tak lebih penting ketimbang kelulusan saya tahun ini. Saya sendiri tak rela harus mengorbankan kelulusan dan menundanya hingga 6 bulan ke depan lantaran keberangkatan ke Taiwan.

Di lain sisi, saya juga merasa tak mau merelakan kesempatan ini begitu saja. Sebab, ini menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi saya untuk mengetahui bahwa esai saya terpilih untuk turut dipresentasikan di simposium berskala global tersebut. Kesempatan ini juga tidak akan datang dua kali, bukan?

Di saat saya benar-benar membutuhkan jalan keluar untuk masalah pribadi ini, lagi, saya dihadangkan masalah baru. Mendadak, Jihad mengirimkan pesan singkat kepada saya yang memuat informasi kemunduran dirinya dari pendelegasian ini.

Rasanya, saya semakin depresi saja saat itu. Bukan perjalanan mudah untuk bisa meraih apa yang telah kita dapatkan hingga hari itu, walau mungkin kita belum membuahkan perkembangan apapun untuk masalah dana.

Saya coba yakinkan dia untuk merubah keputusannya. Untungnya, beberapa saat kemudian, Jihad kembali mengirim pesan singkat kepada saya dan membatalkan keputusannya sebelumnya. Agak labil juga sih anak, hahahaaha…. Tapi cukup dimaklumi, mengingat bukan perkara mudah untuk bisa mengatasi persoalan ini.

Beberapa menit kemudian, saya juga mendapatkan pesan dari Tama. Ah, untungnya, Tama membawa kabar baik! Saya langsung jejingkrakan seperti orang yang divonis bebas dari hukuman pidana di pengadilan saat diinformasikan bahwa kantor imigrasi Taiwan yang berada dalam naungan Kamar Dagang dan Industri Taiwan tidak mewajibkan kehadiran aplikan saat melakukan registrasi visa.

Aaaahhhh….. lega banget bacanya. Lebih lega ketimbang perasaan usai buang hajat setelah lebih dari lima hari absen menunaikan ritual pagi ini.

Ternyata, Jihad juga berhalangan, jadilah Tama seorang yang mewakili kami bertiga untuk melakukan pendaftaran visa.

Persoalan belum berhenti sampai disini. Urusan siapa yang akan mengurus visa tim delegasi UI sudah selesai, sekarang masalahnya adalah darimana uang pendaftarannya?

Baru sebentar bernafas lega, saya kembali dibuat getir oleh masalah dana. Pinjam ke orang tua hanya akan berbuntut pada jalan buntu, bahkan lebih parahnya lagi, kedua orang tua bisa-bisa memutuskan secara sepihak untuk melarang saya ikut serta dalam acara tersebut.

Lebih baik saya cari alternatif lain. Di saat seperti ini, apalagi yang berhubungan dengan uang, otak gue biasanya mendadak cerdas. Gue paling terdepan dalam urusan ingat-ingatan siapa yang dulu pernah berutang ke gua dan paling pikun kalau disuruh mengingat jumlah utang gue sendiri ke orang lain.

Gue langsung ingat seseorang pernah meminjam uang yang besarnya hampir dua kali lebih besar dari biaya registrasi visa. Ini bagus! Setidaknya, uang ini bisa digunakan untuk menutupi kebutuhan saya dan satu rekan saya yang masih belum mendapatkan dana sementara untuk kepentingan registrasi visa besok.

Saat itu juga, walau jarum jam menunjukkan pukul 11 malam, saya memberanikan diri menghubungi rekan saya itu via BBM.Gue sadar ini bukan waktu yang tepat menagih utang ke orang. Membangunkan orang dari tidur lelap untuk menagih utang sama saja seperti membangunkan hantu pocong goyang karawang dari goyangannya. Oke, gue tahu ini nggak nyambung.

Untungnya, rekan gue ini termasuk dalam kategori orang yang selalu tawakal, ikhlas dan lapang dada saat menerima bencana. Jadi, saat dibangunkan, dia menerima cobaan yang sudah digariskan yang Diatas ini dengan hati yang lapang.

Oke, masalah selesai. Dia juga pengguna SMS Banking, artinya, hanya dengan sekali SMS, uang bisa dikirim ke rekening yang dituju.

Tetapi, lagi, kenyataan tak berbanding lurus dengan harapan. Ini bukan hukum Newton atau termodinamika, ini hukum alam. Berlaku untuk siapapun dan dimanapun.

Ternyata, kami berdua menggunakan jasa perbankan yang berbeda dan keduanya tidak menjalin kerjasama. Transfer dalam bentuk apapun tidak bisa dilakukan, kecuali secara cleering yang membutuhkan waktu minimal 3 hari untuk bisa mengirimkan uang ke dalam rekening yang dituju.

Malam sudah semakin larut dan saya harus memiliki uang setidaknya 500ribu di tangan sebelum jam 8 pagi. Saya semakin depresi. Pilihan terakhir, mengemis ke orang tua. Ini lebih gila lagi. Ibarat, mendaftarkan diri untuk menjadi relawan eksekutor bom bunuh diri. Tinggal pilih di ruangan mana saya akan disidang oleh orang tua saya, sebelum akhirnya vonis akhir dibacakan: hak keikutsertaan dalam pendelegasian dicabut dan terdakwa dikembalikan ke tempat tidur.

Rekan saya ini berusaha untuk memastikan bahwa uang akan dikirim sebelum batas waktu yang telah ditentukan yaitu jam 8 pagi. Saya jadi berasa seperti rentenir penagih hutang, mendesak rekan saya ini untuk membayar utang sebelum matahari terbit dan ayam berkokok. Kalau lewat dari itu, maka dia gagal mempersunting saya sebagai pasangan hidupnya dan detik selanjutnya saya akan berubah menjadi patung batu trendy dengan mengenggam tas keluaran Marc Jacobs edisi musim panas terbaru, hingga akhirnya orang mengenal saya dengan sebutan: David Jonggrang.

Oke, I know it’s so crunchy. Let’s go back to the story…

Untungnya, rekan saya ini mengerti sekali kondisi saya. Ia mencoba untuk menghubungi saudaranya yang menggunakan jasa perbankan yang sama dengan saya untuk mentransfer uang sejumlah yang dipinjamnya ke rekening saya. Tetapi, alam jagat raya ini sepertinya membenci solusi yang instan, jadilah sekali lagi, saya dihadapkan pada masalah yang baru:

Beliau sudah tidur. Saya makin galau.

Sangking galaunya, saya bisa merasakan riak-riak air dari tetesan keran di kamar mandi mendesirkan kebimbangan mendalam di relung hati yang hampa ini #caelah…

Sekalipun dari sambungan telepon, temen gue sepertinya bisa membaca gelegat tidak waras ini. Akhirnya dia pun mengeluarkan kata pamungkasnya, “Everything will be fine.”

Benar saja, saat saya baru terbangun dari tidur, keajaiban terjadi. Pagi harinya, saya menerima pemberitahuan bahwa uang telah ditransfer. Penantian semalaman berujung kabar baik.

Well, tapi sepertinya kata “baik” tak berlaku lama untuk orang macam gue. Entah kenapa, selang beberapa menit kemudian, “baik” berpindah inang, dan si “buruk” kembali merebut singasananya. Hidup gue selama satu hari ini kembali dalam bayang-bayang nasib buruk.

Di saat yang sama, gue berhadapan dengan dua masalah baru lagi. Pertama, Jihad salah transfer uang. Uang dikirim ke nomor rekening saudara Tama, padahal uang itu tidak hanya untuk menanggung kebutuhan biaya aplikasi visa dirinya saja, namun termasuk untuk menanggung biaya aplikasi visa Tama.

Proses ini memakan waktu. Tama sulit mengontak Jihad maupun pemilik nomor rekening yang menjadi tujuan pengiriman uang dari Jihad. Di saat bersamaan, ia harus segera mendapatkan uang kurang lebih satu juta Rupiah sebelum jam 11 dimana loket pendaftaran ditutup.

Prosedur aplikasi visa Taiwan ternyata tidak mengharuskan pembayaran di awal, jadi Tama memutuskan untuk menyerahkan berkas aplikasi terlebih dahulu, lalu berusaha mencari kekurangan dana sebelum ia dipanggil lagi untuk menyerahkan bukti pembayaran.

Saat menyerahkan berkas, ternyata pihak imigrasi memperoleh berkas Tama yang belum lengkap. Artinya, berkas yang hanya bisa diproses saat itu hanya milik saya dan Jihad saja. Ga kebayang gimana depresinya situasi disana dan pastinya perasaan Tama saat itu.

Masalah pun makin kacau saja saat hingga berkas pembayaran harus diserahkan, Tama belum juga memperoleh uang untuk menutup kekurangan pembayaran visa Jihad.

Pihak imigrasi sampai menghubungi Tama untuk menanyakan keberadaan Tama, bahkan Tama dituding melakukan penipuan karena ingin mendapatkan visa dengan cara illegal, tidak melakukan pembayaran registrasi.

Di situasi super menekan seperti ini, otak cenderung bekerja lebih adaptif ketimbang biasanya. Nama William terlintas, Tama pun segera menghubungiWilliam yang sedang mengikuti perkuliahan.

Otak yang sama sepertinya juga bekerja di kepala William. Malah, William mengambil langkah paling heroik sepanjang tahun 2011 ini, saat tahu antrian sangat panjang dan bakal memakan waktu lama, William langsung mendramatisir keadaan. Dengan muka melasnya, William memohon untuk bisa mendapatkan “excuse” dari petugas bank tersebut.

Siasat ini berbuah hasil. Mungkin petugas bank mengira uang ini untuk pengobatan seseorang yang tengah kritis di ruang emergency, nyatanya cuma buat nasib satu anak agar bisa merealisasikan keberangkatan ke Taiwan.

Dengan penuh perjuangan, aplikasi visa saya dan Jihad akhirnya selesai diurus. Segala tindak heroik dan penuh haru biru itu tak sia-sia. Dua nyawa telah terselamatkan, tinggal Tama yang masih harus menemui kantor imigrasi lagi keesokan harinya.

Saya tadi bilang ada dua masalah datang bersamaan kan? Satunya lagi, bisa dibilang induk masalah. Ternyata, deadline revisi akhir skripsi dan yudisium yang jatuh tepat di saat gue masih di luar negeri.

Revisi sudah selesai dibuat, tetapi yang jadi permasalahan ialah kedua dosen pembimbing skripsi saya sedang berada di Bali hingga hampir sepekan lamanya dan baru tiba dua hari setelah keberangkatan saya ke Taiwan. Padahal, saya membutuhkan tanda tangan beliau sebagai tanda bukti autentik persetujuan dosen pembimbing atas hasil revisi skripsi saya.

Benar-benar bikin hopeless. Perjuangan besar mewujudkan keberangakatan ini harus berakhir sampai disini. Saya tidak mungkin membiarkan kelulusan saya ditunda semester depan karena ini. Saya harus menemui kedua dosen pembimbing saya dan menyerahkan bukti tanda tangan keduanya sebelum deadline akhir. Jika saya memutuskan untuk berangkat ke Taiwan, saya tidak akan bisa melakukan kedua hal ini.

Saya mencoba pasrah. Saya bukan orang yang mudah putus asa. Sekalipun harus berakhir dengan akhir seperti ini, saya masih mensyukuri setiap perjuangan yang telah saya lakukan bersama ketiga rekan saya. At least, we have tried. We will never know the future, so which one is better: doing something or do nothing?

Saya teringat untaian kata yang teman saya pernah ucapkan ke saya. “When you want something so bad for good reason, the universe will conspire to guide you.”

Saya mengamininya. Saya menginginkan keberangkatan ini bisa terwujud, bukan hanya saya sendiri, namun juga untuk Tama, William dan Jihad. Kami bekerjasama dari awal untuk mewujudkan ini dan tidak sedikit pengorbanan yang sudah kami lakukan sejauh ini, belumkah itu semua cukup untuk membayar keinginan kami?

Saat saya menerima balasan emai dari dosen pembimbing saya terkait situasi yang saya hadapi saat ini, saya merasakan maksud dari kalimat rekan saya itu.

Saat kamu menginginkan sesuatu untuk tujuan baik, alam jagat ini akan berkonspirasi membantu kamu untuk mewujudkannya.

Berita itu membawa kebahagiaan buat saya. Kedua dosen saya menyatakn tidak ada yang perlu diperbaiki dari revisi skripsi saya paling akhir dan saya diizinkan untuk mengutus perwakilan untuk menemui keduanya guna memohon tanda tangan persetujuan.

Rasanya benar-benar…. bahkan, saya tak tahu harus bicara apa lagi… Perasaan haru, senang, dan lega bercampur jadi satu. Akhirnya, penantian dan perjuangan panjang ini berbuah hasil. Hasil yang membahagiakan.

Tidak hanya itu, sesaat kemudian, Garuda Indonesia memberikan konfirmasi kerjasama dimana Garuda Indonesia menyediakan return ticket gratis rute Jakarta-Hongkong kepada seluruh rombongan delegasi.

Kabar baik selanjutnya, DIKTI mendukung pendelegasian ini dengan memberikan bantuan finansial sebesar 10 Juta Rupiah yang dikirim melalui rekening resmi UI.

ILUNI FE UI pun turut menyumbang 7 juta Rupiah untuk menyukseskan keberangkatan kami dan terakhir ialah uang saku senilai 2 juta yang diberikan dari UI. Bahkan, saat dikalkulasi secara keseluruhan, dana yang terkumpul melebihi dari kebutuhan minimum.

Kejadian ini membuat saya berpikir:

A journey starts from uncertain point, passes through a very long road and ends up at the fixed point.

Saya belajar banyak arti penting dari kalimat di atas, Perjuangan membutuhkan penantian, namun akan segera berakhir di tujuan saat waktunya tiba. At least, penggalan kisah di awal keberangkatan menuju Taiwan menjadi bukti yang bisa saya bagikan kepada kalian.

Just believe and keep doing it!

NB: Cerita selanjutnya akan berlanjut di post yang baru ya! Thank for reading 😀

Read Full Post »