Feeds:
Posts
Comments

Archive for August, 2014

Saya hanya bisa menyembunyikan tawa saat melihat sekumpulan anak-anak tampak riang mengikuti perlombaan dalam rangka perayaan Hari Kemerdekaan RI. Menggelitik memang melihat raut muka anak-anak yang terlihat begitu berapi-api memberikan dukungan bagi perwakilan RT-nya yang tengah bertanding melawan RT tetangga dalam sebuah pertandingan badminton.

Lebih lucu lagi saat mendengar celutukan beberapa dari mereka untuk membuyarkan konsentrasi pihak lawan saat shuttlecock bergerak menujunya. Pendukung pihak lawan tampak terpancing emosi, beberapa menunju-nunjuk ke pihak ‘biang kerok’ dan berjanji bahwa mereka akan mengingat wajahnya.

Saya makin tergelak dalam tawa sampai lupa bahwa lampu lalu lintas telah berwarna hijau dan kendaraan di belakang saya telah berkali-kali membunyikan klaksonnya. Saya hanya bisa senyum kikuk sambil mengucapkan kata maaf saat kendaraan di belakang saya itu menerobos dari arah kanan.

Pemandangan tadi benar-benar langka di kehidupan saya saat ini. Saya hanya bisa mengenang, tak lagi menjadi bagian dari permainan itu. Lazimnya memang perlombaan 17-agustus diikuti oleh anak-anak maupun remaja. Untuk orang-orang seusia saya, cocoknya mengikuti undangan pertemuan malam RW dalam rangka peringatan kemerdekaan – duduk di sebelah Bapak-bapak dengan kumis tebal dan perut buncit lainnya. Kemudian membicarakan masalah anak, rumah tangga, olahraga sampai otomotif.

Sebenarnya usia saya belum tua-tua amat. Masih 24 tahun. Namun, tragedi di hidup saya ialah sebagian besar teman-teman saya (baik dari SD sampai kerja) telah menikah dan bahkan sudah memiliki anak. Ditambah, semenjak usia 20 tahun, saya sudah bekerja professional sehingga orang-orang di lingkaran hidup saya rata-rata sudah berumur jauh di atas saya, memiliki rumah tangga, dan status terakhir dari beberapa yang saya baca ialah mereka sedang mencari baby sitter setelah yang sebelumnya tak kunjung kembali pasca lebaran.

Saat TK dulu, saya memaknai kemerdekaan dengan menjadi model cilik sehari. Dipakaikan baju polisi dan kemudian diajak jalan mengitari komplek perumahan dengan anak-anak lugu dan tak berdosa lainnya sambil mengibarkan bendera merah-putih kecil berbahan plastik dan mengulang-ulang lagu yang sama.

Menggelikan melihat ekspresi saya waktu itu. Polos dan datar. Tak tahu kalau seragam yang saya kenakan itu justru akan menyergap saya dua kali dan meminta uang sebagai bentuk perdamaian atas kelalaian yang menurut mereka telah saya lakukan saat berkendara.

Beranjak SD, selebrasi kemerdekaan semakin terasa menggairahkan. Setiap gang dibuatkan gapura dengan dominasi warna merah dan putih dan bertuliskan tanggal kemerdekaan de facto Indonesia dan tanggal pembuatan gapura tersebut. Laksana prasasti di era Keluarga Cemara mengudara.

Umbul-umbul menghiasi setiap sudut jalan. Bendera Merah Putih plastik dipasang berjejeran pada seutas tali dan melintasi jalan. Seluruh ruang publik dihiasi dengan lampu dan dekorasi warna-warni. Begitu juga dengan sepeda anak-anak di komplek saya. Semua tampak manis dan kreatif. Ayah saya memang tidak sekreatif ayah-ayah lainnya, sepeda saya dibungkus dengan seadanya, kalah “mentereng” ketimbang sepeda milik anak-anak lainnya. Tetapi, saya sudah cukup puas, karena saya bisa menghabiskan waktu menggunting-gunting kertas dan menempelkannya ke sepeda dengan ayah seharian.

Selain sepeda, saya dan anak-anak lainnya sekomplek juga didandani dengan aksesoris dan baju adat. Saat malam penganugerahan pemenang lomba sekaligus puncak selebrasi kemerdekaan, kami yang lugu dan tak berdosa ini selalu dijadikan sebagai material tontonan orang dewasa. Maksudnya, kami diminta untuk menjadi pengisi acara. Biasanya grup vokal dan tari tradisional. Memang jiwa suka tampil, tak peduli suara cempreng atau tarian kaku, saya selalu menawarkan diri untuk menjadi lead performer. Sungguh murah sekali saya ini, bahkan dibayar dengan ucapan “Terima Kasih” pun ridho rhoma.

Yang saya ingat, saya pernah didapuk untuk menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka” secara duet dengan tetangga depan rumah, lalu berganti baju dan segera naik lagi ke pentas untuk SKJ (sebenarnya menari tradisional, tetapi gerakan terlalu kaku jadi orang-orang pikir kami sedang aerobik) diiringi dengan lagu “Kampoang Nan Jauh di Mato.”

Pokoknya dulu, berasa artis lah. Mejeng sana-sini, ganti kostum dan tampil berkali-kali, yang membedakan hanya bakat saja. Kami ini membuktikan bahwa menjadi biduan panggung tak perlu talenta, cukup nyali, usaha dan kostum saja.

Beranjak menuju SD tingkat akhir, nuansa kemerdekaan sedikit banyak berubah. Berbarengan dengan usia yang semakin bertambah, kegiatan saat kemerdekaan pun berubah. Bukan lagi parade panas terik dengan seragam polisi atau tari kesegaran jasmani (TKJ), tetapi pertarungan antar RT di medan RW yang mempertaruhkan nama baik dan kehormatan RT masing-masing.

Kehormatan RT saya yang dulu telah direnggut oleh RT tetangga di hampir setiap lini perlombaan, dari perlombaan tidak penting seperti lomba teriak, perlombaan mainstream, seperti: balap karung, tangkap belut dan gigit koin sampai perlombaan legendaris di masanya, yaitu: lomba panjat pinang.

Tetapi buat anak seumuran saya dulu, lomba di RW tidak semenarik lomba dari RT. Mungkin karena anak-anak di RT saya tersebut sudah saya kenal, sehingga lebih menyenangkan dilakukan, apalagi saat menjalani lomba yang melibatkan tim.

Dulu itu, hingar bingar lomba di RT saya sangat luar biasa. Saat hari H tiba, anak-anak sudah tampak berjaga-jaga dari pagi. Semangat juang laksana patriot yang siap bergerak ke medan perang. Semua curi-curi pandang dari dalam rumah apakah perlombaan telah dimulai atau belum.

Yang lain hanya tidak ingin melewatkan kesempatan menyenangkan bersama tetangga, saya justru berambisi untuk memenangkan setiap perlombaan yang dibuka untuk kategori umur saya. Waktu itu, ada lomba lari, lomba balap karung, lomba tangkap belut, lomba tarik tambang dan lomba cerdas cermat.

 Jadi, dari jauh-jauh hari, saya sudah memetakan strategi untuk memenangkan perlombaan tersebut. Lomba lari secara otomatis saya keluarkan dari target juara. Saya hanya berambisi masuk dalam urutan 3 besar saja, sebab saya sadar di RT saya berada, ada 2 anak seumuran saya yang berbakat dalam olahraga dan berpengalaman secara otodidak, misal: dikejar orang tua karena rapor merah atau kedapatan mencuri uang orang tua.

Untuk lomba melibatkan tim, saya berambisi menang. Untuk itu, jauh sebelumnya, saya menyortir profil anak-anak yang ada berdasarkan ketangkasan, ketangguhan fisik dan kemampuan intelejensi. Praktik lobi dan diplomasi pun dilakukan. Jajanan di warung sebelah dan kesempatan untuk main playstation di rumah saya menjadi kompensasi yang saya tawarkan sekaligus daya tarik agar mereka mau masuk ke dalam tim saya.

Sisanya untuk perlombaan mandiri, saya mengandalkan kemampuan saya pribadi. Saya sampai melakukan simulasi lomba makan kerupuk dan balap karung sendiri di rumah demi ambisi untuk menang. Hahaha…

Momentum itu pun akhirnya tiba. Satu per satu nama anak-anak di komplek saya mengudara dari toa. Saya menahan diri agar tak terlihat terlalu bersemangat, jadi saya pura-pura menyibukkan diri di dalam rumah sampai akhirnya rumah saya diteriaki oleh sekumpulan anak-anak agar orang tua saya menyerahkan saya ke kepala RT untuk diadu nyali dan ketangkasannya. Berasa hunger games versi bocah ingusan.

Saat saya keluar, justru saya malah lebih heboh dari mereka. Teriak bahagia macam kesetanan. Ah, perduli setan, yang lain juga malah ikutan teriak sambil lompat-lompat bareng saya. Bocah ingusan memang.

Pertandingan pun dimulai dan orang tua masing-masing anak berhamburan keluar memberikan dukungan untuk anaknya masing-masing. Kala itu, orang tua saya tidak hadir, mereka menghadiri upacara kemerdekaan di sekolah masing-masing.

Di beberapa perlombaan, saya berhasil memenangkannya. Masih terekam jelas di otak saya, kala itu saya senang bukan main dan tak sabar menanti senyum bahagia Ibu saya jika tahu saya menang banyak, sehingga setelah perlombaan, saya berjaga-jaga di persimpangan jalan menunggu Ibu tiba. Saya ingin Ibu saya mendengarnya langsung dari saya, bukan dari mulut tetangga.

Kini, tepat di tanggal 17 Agustus 2014 di usia yang hanya kurang satu tahun dari semperempat abad, saya bertanya-tanya dalam hati: Apa makna kemerdekaan buat saya di kehidupan masa kini?

Saya termenung. Pikiran saya hanyut dalam hingar bingar jalan siang itu. Hidup sudah tak lagi sama. Selebrasi kemerdekaan pun tak semeriah dulu. 17 Agustus seakan hanya menjadi satu hari lain dari 365 hari dalam satu tahun. Maknanya kini menyempit – tertekan oleh kehidupan metropolitan yang semakin kompleks dan banyak tuntutan.

Lagu-lagu kemerdekaan pun sayup-sayup menggema di benakku, kalimatnya, “Sekali merdeka… tetap Merdeka!!

Aku tersenyum getir, sebab syair itu mengetuk hati nuraniku terdalam, membukakan kembali satu pertanyaan hidup yang selalu kuhindari selama ini: Apakah aku sudah merdeka?

Tinnnn!!!!

Klakson itu berbunyi sekali lagi. Aku menoleh ke arah spion dan mendapat mimik wajah jengkel di belakang sana. Dengan sigap, kuarahkan porsneling ke mode gerak, lalu kutinggalkan hingar bingar pertandingan badminton itu untuk melaju meneruskan perjalanan.

 *               *               *

Note:

Teruntuk seluruh Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia, takkan ada untaian kata yang mampu melukiskan betapa luhur dan berartinya perjuanganmu bagi kami, penerusmu di zaman ini. Engkau tanggalkan nyawamu di medan perang untuk mewarisi kebebasan bagi kami.

Sesal diri bagimu saat tahu Timor Timur kini tak lagi tinggal serumah dengan kami. Miris bagimu melihat kebrutalan di masa kerusuhan Mei 1998. Derita bagimu saat melihat perjuanganmu justru diwarnai dengan perpecahan di beberapa daerah di nusantara hingga kini.

Teruntuk seluruh Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa ini masih belajar, walau pelan dan cenderung melupakan sejarah kelam, namun bangsa ini sejujurnya masih beritikad untuk bersama. Kami, penerusmu, takkan melupakan mimpimu untuk melihat Indonesia menjadi rumah bagi segenap rumpun dan iman yang berdiri megah sehingga kemudian orang Barat sana pun berkata “The Rising Power from South East.”

Teruntuk seluruh Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia, biarlah cita-cita luhurmu senantiasa hidup dan bergema di kehidupan bangsa dan negara ini.

Sumber Foto:

http://fotokita.net/alt/foto/791219323156_0747898/# (hasil karya: Banar Filardhi)

Read Full Post »